Kejutan Serie A Membongkar Taktik Revolusioner Thiago Motta di Bologna

Musim ini, jagat sepak bola Eropa disuguhkan banyak kejutan tak terduga. Di Bundesliga, Bayer Leverkusen menorehkan sejarah dengan meraih gelar juara tak terkalahkan. La Liga punya Girona yang tampil menggila, sementara Premier League dikejutkan oleh performa solid Aston Villa yang berhasil mengamankan tiket Liga Champions. Tak ketinggalan, di Serie A, Bologna menjadi fenomena tersendiri.

Tim berjuluk Rossoblu ini tampil konsisten sepanjang musim, bahkan berhasil mengunci satu slot di Liga Champions musim 2024/2025 dengan finis di lima besar klasemen akhir, mengumpulkan 68 poin. Di balik performa impresif ini, ada satu nama yang layak mendapatkan sorotan: Thiago Motta, sang arsitek yang sukses membawa Bologna terbang tinggi.

Siapa Thiago Motta? Jejak Awal & Filosofi “Bola sebagai Pusat Permainan”

Thiago Motta memulai karier kepelatihannya di tim muda PSG. Debutnya sebagai pelatih tim utama terjadi di Genoa pada pertengahan musim 2019. Kemudian, di awal musim 2021/2022, pelatih berusia 41 tahun ini dipercaya menangani Spezia dan berhasil membawa mereka bertahan di Serie A. Namun, namanya benar-benar mencuat saat ia menukangi Bologna di musim 2022/2023.

Di musim pertamanya bersama Bologna, Motta sukses mengantarkan Rossoblu finis di peringkat ke-9, pencapaian tertinggi mereka dalam lebih dari satu dekade. Musim ini, ia bahkan mampu membawa Bologna bersaing di papan atas.

Motta dikenal dengan filosofi kepelatihannya yang berpusat pada penguasaan bola (possession-based), build-up konstruktif, dan rotasi pemain yang dinamis serta penyerang yang fluid. Hal ini sesuai dengan tesisnya yang terkenal, “The Value of the Ball,” yang kurang lebih berarti bola sebagai pusat permainan.

Anda mungkin pernah mendengar tentang ide formasi “aneh” Motta, yaitu 2-7-2. Jangan salah paham! Formasi ini bukanlah formasi vertikal seperti yang biasa kita lihat. Motta melihatnya secara horizontal: dua pemain di sisi kiri, tujuh di tengah, dan dua di sisi kanan. Secara vertikal, formasi 2-7-2 ini bisa diterjemahkan menjadi skema umum seperti 4-2-3-1, 4-3-3, atau 3-4-3. Terbukti, di Bologna, Motta sering menggunakan formasi dasar empat bek seperti 4-2-3-1 dan 4-1-4-1, dengan banyak variasi.

Pilar Taktik Motta: Possession, Hybrid Center-Back, & Serangan Cair

Thiago Motta banyak mengandalkan pemain-pemain muda di skuad Bologna, dengan rata-rata usia 24,7 tahun. Hanya ada dua pemain di atas 30 tahun yang menjadi langganan starter: Remo Freuler dan Lukasz Skorupski.

Bersama Bologna, Motta mengusung ide permainan berbasis possession. Rata-rata penguasaan bola mereka musim ini mencapai 58%, tertinggi kedua setelah Napoli, dan meningkat dari rata-rata musim lalu (55%).

Build-up Konstruktif dari Belakang

Saat menguasai bola, Bologna memulai serangan dengan build-up konstruktif dari lini belakang. Mereka menggunakan single pivot atau satu pemain di posisi nomor 6 yang berdiri di depan lini pertama. Dua gelandang lainnya akan naik menempati half-space (koridor antara bek tengah dan full-back). Ketika gelandang bertahan dijaga ketat, dua gelandang di half-space inilah yang akan bergerak membuka jalur progresi serangan.

Selain itu, striker Bologna, Joshua Zirkzee, sering turun ke lini kedua untuk menjemput bola dan menjadi target progresi. Namun, perlu dicatat bahwa back-back Bologna beberapa kali melakukan kesalahan saat mendapatkan pressing dari lawan, yang terkadang berbuah fatal seperti gol Juventus beberapa waktu lalu karena kesalahan Boikemah.

Revolusi Hybrid Center-Back

Salah satu taktik modern yang diterapkan Thiago Motta di Bologna adalah peran center-back hybrid, mirip dengan apa yang dilakukan Pep Guardiola dengan John Stones di Manchester City. Menariknya, ketiga center-back Bologna – Riccardo Calafiori, Jhon Lucumí, dan Sam Beukema – mampu memainkan peran ini dengan baik.

Fungsi center-back yang naik ke lini tengah adalah untuk memberikan dukungan kepada single pivot dan membantu koneksi dalam proses build-up konstruktif. Calafiori, khususnya, menonjol dalam peran ini. Bek berusia 21 tahun ini memiliki kelebihan dalam penguasaan bola, umpan, dan kemampuan dribel untuk menembus blok press lawan. Ia juga memiliki naluri menyerang yang tinggi, sering bergerak naik hingga ke sepertiga akhir lapangan untuk membantu serangan. Calafiori, yang terpilih sebagai Player of The Month Serie A Mei ini, telah mencetak 5 assist dan 2 gol.

White Overload & Pergerakan Fluid di Lini Depan

Dalam fase menyerang, Bologna menerapkan skema white overload (penumpukan pemain di sisi sayap) dan pergerakan pemain depan yang cair. Joshua Zirkzee adalah penyerang bertipe nine-and-a-half striker, yang tidak terpaku pada posisinya sebagai nomor 9. Peta panas (heatmap) pergerakannya menunjukkan betapa luas area operasinya. Penyerang asal Belanda ini punya kelebihan dalam mempertahankan bola, kuat dalam dribel, dan bisa menjadi pemantul untuk link-up play. Ia juga sering turun ke lini kedua untuk menjemput bola dan bahkan bergerak melebar untuk mendukung white overload.

Selain Zirkzee, pemain lain juga diberikan lisensi untuk bergerak keluar dari posisinya. Ambil contoh Oussama El Azzouzi, yang berposisi sebagai gelandang namun bergerak naik saat melihat ruang kosong. Begitu pula dengan Alexis Saelemaekers, pemain pinjaman dari AC Milan yang berposisi asli winger kanan, namun diplot sebagai winger kiri oleh Motta dan sering melakukan roaming ke tengah.

Pertahanan Adaptif & Beberapa Celah yang Terlihat

Saat tidak menguasai bola, Bologna terlihat sebagai tim yang adaptif. Mereka bisa menerapkan high pressing berbasis man-to-man marking saat menghadapi lawan yang membangun serangan dari area rendah. Namun, mereka juga bisa bertahan lebih reaktif dengan menerapkan medium block. Pendekatan adaptif ini membuat Bologna tidak terpaku pada satu cara bertahan saja dan bisa menyesuaikan diri dengan karakteristik lawan.

Meskipun demikian, masih ada beberapa kelemahan dan celah di pertahanan Bologna. Ruang antar lini sering terekspos karena jarak antara lini tengah dan backline yang terlalu jauh, meskipun seringkali bisa di-cover oleh dua center-back yang kerap melakukan closing down. Selain itu, backline Bologna sering terekspos oleh pergerakan lawan ke ruang kosong dan through-pass di antara para bek. Di kotak penalti, mereka terlihat lemah dalam menghadapi crossing lawan, kerap kalah duel udara atau gagal mengantisipasi umpan lambung, seperti gol Milan yang dicetak Loftus-Cheek.

Pun begitu, di samping kelemahan-kelemahan tersebut, Bologna sejauh ini menjadi tim kedua dengan jumlah kebobolan paling sedikit di Serie A, hanya 30 kali, di bawah Inter Milan yang hanya 20 kali.

Tentu akan sangat menarik melihat kiprah Thiago Motta sebagai pelatih yang membawa ide-ide taktik segar ke sepak bola Italia. Perjalanan Bologna di bawah asuhannya adalah bukti nyata bahwa dengan filosofi yang jelas dan eksekusi yang tepat, kejutan selalu mungkin terjadi di dunia sepak bola.

By admin

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *